Bisnis.com, JAKARTA — Sejumlah ahli hukum, seperti Todung Mulya Lubis dan Maqdir Ismail berencana mengajukan revisi atau judicial review atas Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Para ahli hukum tersebut mengadakan acara Chief Editors Gathering di Jakarta, Jumat (13/9/2024). Acara itu pun turut dihadiri oleh Amien Sunaryadi dan Chandra Hamzah selaku mantan Komisioner KPK.
Pakar hukum menilai kedua pasal tersebut dinilai belum efektif memberantas suap, tidak mengacu pada definisi korupsi secara internasional, dan digunakan secara berlebihan.
“Strategi pemberantasan korupsi saat ini berfokus pada perbuatan yang merugikan keuangan negara. Pendekatan ini mengaburkan esensi korupsi itu sendiri,” tutur eks Wakil Ketua KPK periode 2003 — 2007, Amien Sunaryadi, Jumat (13/9/2024).
Mantan Wakil Ketua KPK periode 2007 — 2011 Chandra Hamzah menilai definisi korupsi yang ada di dua pasal tersebut (menekankan kerugian negara sebagai indikasi korupsi) tidak diakui negara lain.
Seharusnya, lanjut dia, definisi korupsi harus mengacu pada Konvensi PBB Anti Korupsi (UNCAC) 2003.
Baca Juga
“Yang mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi atau orang lain secara melawan hukum,” imbuhnya.
Lebih jauh, Chandra turut menekankan pasal-pasal tersebut sering disalahgunakan untuk menjerat kasus bisnis yang mengalami kerugian karena faktor non-kriminal, seperti fluktuasi harga atau kesalahan kalkulasi.
“Penerapan berlebihan dari Pasal 2 dan 3, dapat menyebabkan aspek kerugian dari aktivitas bisnis normal dianggap sebagai korupsi,” ucapnya.
Tak hanya berangkat dari problematika yang ada, para ahli hukum juga melihat berlebihnya dua pasal tersebut dalam empat kasus hukum yang pernah terjadi, dua diantaranya direksi BUMN.
Empat kasus itu adalah Hotasi Nababan (kasus Merpati), Syahril Japarin (kasus Perum Perindo), Kukuh Kertasafari (kasus bioremediasi Chevron), dan Nur Alam (kasus izin tambang di Sulawesi Tenggara).
Oleh sebab itu, Chandra menilai judicial review ini bertujuan agar ada revisi atas Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor yang mewajibkan adanya syarat suap dan pembuktian niat jahat (mens area) untuk melakukan tindakan koruptif dan praktik suap (bribery) yang nyata.
Sebagai informasi, bunyi Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor mengatur bahwa setiap orang yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dapat dipidana dengan hukuman penjara seumur hidup atau penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun, serta denda antara Rp200 juta hingga Rp1 miliar.
Pasal tersebut menekankan pada dua elemen utama; perbuatan melawan hukum dan dampak berupa kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.
Sementara itu, Pasal 3 UU Tipikor lebih spesifik mengatur tentang penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana pada seseorang karena jabatannya, yang juga merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.